Rabu, 26 September 2007

Pasar logistik Indonesia cenderung untungkan asing

Pasar logistik Indonesia cenderung untungkan asing

JAKARTA: Potensi pasar bisnis logistik nasional dalam setahun diproyeksikan mencapai 10% dari produksi kotor domestik (GDP), namun cenderung dikuasai dan menguntungkan perusahaan asing, karena tidak ada peraturan perundangan yang mengatur sektor ini.

Dosen Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Trisakti K. Martono mengungkapkan dengan potensi pasar yang mencapai 10% dari GDP, bisnis logistik sangat menarik minat perusahaan asing untuk masuk ke Indonesia.

"Saat ini jasa logistik masih dikuasai asing, meski jumlah pemainnya relatif lebih kecil dari pemain nasional. Asing sangat berminat ma-suk ke Indonesia, sehingga sebaiknya pemerintah menyiapkan UU yang mengatur bisnis logistik," katanya kepada Bisnis, kemarin.

Dia mengungkapkan data dari Kementerian BUMN menunjukkan pada 2006 GDP mencapai Rp3.300 triliun, di mana per 29 November 2006 nilai bisnis logistik di Tanah Air dilaporkan mencapai Rp400 triliun.

Profil potensi bisnis logistik di Indonesia :

- GDP 2006 Rp. 3.300 triliun

- Pencapaian bisnis logistik 2006 ( > 10% dari GDP ) Rp. 400 triliun

- Khusus kargo dari Saudi Arabia Rp. 505 miliar

Sumber: K. Martono dan Kementerian BUMN

Sayangnya, tandas Martono, dari aspek hu-kum dan regulasi belum ada UU yang mengatur secara spesifik bisnis jasa logistik, padahal di beberapa negara seperti Australia, China, dan Malaysia telah mempunyai dasar hukum yang kuat untuk bisnis di sektor ini.

"Hal ini mengakibatkan instansi pemerintah di Tanah Air merasa berhak dan tidak berhak untuk membina, mengatur, dan mengendalikan bisnis jasa logistik," ujarnya.

Meski Indonesia memiliki UU No.6/1984, PP No.37/1985, PP No.17/1988, KM 12/KP.108/ MPPT-88, KM 86/1999, KM 70/2000, KM 5/2005, SK 37 DIRJEN/1988, dan Perpres No.76/2007 serta Perpres No.77/2007, namun belum ada UU yang secara spesifik mengatur bisnis jasa logistik.

Dewan logistik

Staf ahli Menko Perekonomian Firman Malem Ukur Tamboen mengatakan karena UU membutuhkan kesepakatan politik nasional dan waktu yang lama, maka pihaknya mengusulkan perlunya Dewan Logistik Nasional sebagai pengembangan tim arus barang yang ada saat ini.

Dewan itu, papar dia, akan diatur melalui Peraturan Presiden dengan tugas mengambil langkah-langkah strategis untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dengan mengacu pada negara-negara di Asean dan Asia yang industri logistiknya lebih maju.

Terkait hal itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Chris Kanter meminta tim kecil asosiasi logistik tetap aktif dan terus membahas masukan yang perlu disampaikan kepada pemerintah.

"Pemerintah benar-benar menunggu masukannya, jadi tim tidak boleh berhenti membahas," tandas Chris.

Dia mengakui praktik bisnis di sektor logistik Tanah Air saat ini cenderung menguntungkan bagi asing, karena tidak adanya peraturan perundangan di Indonesia. Akibatnya, pengguna jasa justru menggunakan perusahaan logistik asing yang telah memiliki landasan hukum yang mengatur a.l. keamanan dan keselamatan kiriman.

"Ini merugikan Indonesia. Padahal, perkembangan tren dunia usaha di dunia saat ini menunjukkan bahwa sektor logistik menjadi andalan bagi pergerakan sektor usaha. Indonesia jangan sampai terlambat karena in adalah kesempatan. Makanya, harus aktif."

Dia memaparkan saat ini sektor logistik di Indonesia hanya memiliki peraturan terkait dengan Bea dan Cukai, namun belum ada yang mengatur soal dokumen hingga pembiayaan.

Meski demikian, menurut dia, pemerintah sudah memperlihatkan respons positif dengan menunggu dunia usaha mempersiapkan masukannya kepada pemerintah.

Sayangnya, setelah pertemuan pada 10 Agustus 2007 dan 24 Agustus 2007, tim kecil asosiasi logistik hingga saat ini belum menggelar pertemuan lagi guna membahas masukan bagi pemerintah mengenai sektor logistik. (Junaidi Halik) (sylviana.pravita@bisnis.co.id)

Oleh Sylviana Pravita R.K.N.

Bisnis Indonesia


Taken from ALI website

Tidak ada komentar: